BIOGRAFI KH. MOCH. CHOZIN MANSUR
Muhammad Khozin Manshur adalah putera kesepuluh dari pasangan KH. Muhammad Manshur – Hj. Maimunah binti Nur Syam bin Abdul Hafidz (Mbah Kampil). Lahir di Desa Mayangang kecamatan Peterongan (Jogoroto) kabupaten Jombang pada tahun 1912 M atau 1331 H. Dilihat dari segi nasab (asal-usul keturunan), KH M Mansur bukanlah nasab orang biasa. KH M Mansur biasa disebut dengan Abdul Bakir bin Arya Reja bin Arya Kromo bin Arya Penangsang bin Pangeran Sekar Seda Lepen.1
Dalam Babat Tanah Jawi, Pangeran Sekar adalah adik Pangeran Sabrang Lor, Adipati (Y) Unus, raja Demak ke-2 sesudah Raden Patah. Setelah wafatnya Adipati Unus, Pangeran Sekar meninggal dunia dalam usia muda karena dibunuh oleh sekelompok ‘orang misterius’ suruhan Sunan Prawata (anak Raden Trenggono), saat Pangeran Sekar dalam perjalanan pulang dari masjid menuju rumahnya. Kematiannya ditafsirkan oleh para sejarahwan bermuatan politis yaitu terkait dengan suksesi kepemimpinan kesultanan Demak. Jika Pangeran Sekar dibiarkan hidup dikhawatirkan tahta Demak akan pindah ke tangannya. Jasad beliau lalu dilemparkan ke sungai. Oleh karena itu, ia dikenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda Lepen (Pangeran Sekar yang wafat di sungai). Pasca kematian Pati Unus dan Pangeran Sekar, kerajaan Demak diperintah oleh Sultan Trenggono, pamannya Pangeran Sekar. Sultan Trenggono adalah ayah dari Sunan Prawata.
Saat tragedi berdarah itu terjadi, Pangeran Sekar telah mempunyai anak laki-laki yang bernama Arya Penangsang. Pasca kematian ayahnya, Arya Penangsang diasuh dan dididik oleh Sunan Kudus sebab Sunan Kudus adalah disamping sebagai wali (tokoh agama) juga menjadi penasehat raja dalam urusan kemiliteran. Oleh karena itu, Arya penangsang terkenal sangat sakti dan emosional.
Sepeninggal Sultan Trenggono, Arya Penangsang berniat merebut tahta kerajaan sebab saat di usia dewasa Arya Penangsang hanya menjadi adipati di wilayah Jipang. Untuk itu, ia harus menghabisi Prawata serta Pangeran Hadiri atau Adipati Kalinyamat, yang melindungi Arya Penggiri, anak Prawata. Untuk merealisasi tujuan-tujuan di atas, Arya Penangsang harus berhadapan, berkonflik politis dan militer dengan Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya, menantu Sultan Trenggana). Dalam menghadapi tantangan dari Arya Penangsang, Jaka Tingkir harus mengerahkan banyak tenaga, pikiran dan taktik-taktik licik sehingga Jaka Tingkir harus memanggil Ki Gede Pemanahan, Ki Juru Mertani dan Sutawijaya.
Dalam konflik politis dan militer itu, akhirnya Arya Penangsang dapat dikalahkan dan dibunuh oleh Sutawijaya, prajurit andalan dan anak angkat Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir). Dalam pertempuran itu, Arya Penangsang tertombak lambungnya oleh tombak pusaka Kyai Plered. Konon, dalam kondisi kritis seperti itu, Arya Penangsang masih mampu “menyangsangkan” (menyampirkan) uraian-uraian ususnya pada hulu kerisnya.2
Menikah dengan Hj. Maimunah, KH M Manshur meempunyai 14 anak dan anak yang ke-10 bernama Muhammad Khozin Manshur. Adapun nama-nama saudara Muhammad Khozin Mansur yang dapat diidentifikasi adalah Khudhori, Ahmad, Shiratun, Ma’sum, Mas’amah, Minhaj, Nur Salim, Mu’minah.
Selain menikah dengan Hj. Maimunah, KH M Mansur menikah juga dengan Shofiyah. Pernikahan dengan isteri kedua ini melahirkan anak antara lain Ruqoyyah, Yasin, Abdul Hadi. Pada jalur pernikahan dengan Ibu Shofiyah ini muncul mantan tokoh Ketua Dewan Pengurus Wilayah Partai Kebangkitan Bangsa Jawa Timur 1998-2003, Drs H Choirul Anam, namun sejak tahun 2007 ia keluar dari PKB dan bersama-sama kyai-kyai sepuh Jawa Timur dan nasional membentuk Partai Kebangkitan Nahdlatul Ulama (PKNU)
*Masa Kecil*
Sejak kecil Muhammad Khozin Manshur hidup di lingkungan keluarga yang religius. Pendidikan dan ilmu-ilmu –khususnya ilmu agama- ia peroleh dari orang tuanya (KH M Mansur) dan saudara tuanya yaitu Kyai Minhaj. KH M. Mansur adalah pengasuh Pondok Pesantren Madinatut Ta’lim di Dusun Wonokoyo, Desa Mayangan, kecamatan Peterongan, Jombang. Dua tokoh di atas adalah orang yang sangat besar pengaruhnya dalam mentransformasikan dasar-dasar agama, aqidah, al-Qur’an, akhlaqul karimah kepada M. Khazin Mansur. Sejak belia, M Khazin sudah memiliki semangat yang tinggi dalam menuntut ilmu pengetahuan. Belajar agama di ayah dan saudaranya, M Khozin juga belajar di Sekolah Rakyat (SR) di Desa Parimono, sekitar 5 km arah selatan desa Mayangan.
*Nyantri di Maha Gurunya Kyai Jawa*
KH Muhammad Hasyim Asy’ari
Tamat menuntut ilmu pada jenjang pendidikan dasar (SR) di Parimono, M Khazin Mansur dipasrahkan ayahnya kepada Hadratus Syeikh KH M Hasyim Asy’ari untuk bisa menuntut ilmu-ilmu agama di Pondok Pesantren yang diasuhnya yaitu Pesantren Tebu Ireng Jombang. Situasi dan kondisi zaman saat itu adalah zaman penjajahan Belanda atas wilayah nusantara (Indonesia). KH M Hasyim Asy’ari –sebagaimana diketahui- adalah sosok ulama besar dan kharismatik. Beliau adalah maha gurunya kyai-kyai Jawa dan pendiri serta Rais Akbar Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Beliau adalah murid kesayangan dari KH Khalil Bangkalan dan beberapa syeikh yang mengajar di Masjidil Haram, Mekkah antara lain Syeikh Muhammad Khatib Sambas.
Seluruh hidup KH M Hasyim Asy’ari dikhidmahkan untuk berdakwah dan menciptakan cita-cita izzul Islam wal Muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin). Cara yang Beliau tempuh untuk mewujudkan cita-cita luhur di atas adalah dengan mendirikan pondok pesantren, mendidik umat Islam, serta mencetak ulama dan kader-kader penerus bangsa yang andal dan berkualitas. Logika berpikirnya adalah jika umat Islam dapat dididik, dicerdaskan dan ulama-ulama dapat dipersatukan maka hal itu akan menjadi senjata ampuh untuk meraih kemerdekaan tanah air, lepas dari cengkraman kolonial (penjajah) siapapun dia.
Bertahun-tahun mondok di Tebu Ireng dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh M Khozin untuk mengkaji ilmu-ilmu agama seperti ilmu al-Qur’an, nahwu, sharaf, dan ilmu dan kitab-kitab hadits nomor wahid dalam tradisi kelilmuan kaum ahlussunnah wal jamaah yaitu Shohih al-Bukhari yang disusun oleh Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail al-Bukhary yang popler disebut al-Imam al-Bukhary dan Shahih Muslim yang disusun oleh al-Imam Muslim serta kitab-kitab hadis lainnya seperti Sunan al-Turmudzi, Sunan Nasa’i, Sunan Abu Dawud dan Sunan Ibn Majah. Seperti diketahui bahwa ilmu hadits merupakan salah satu ilmu spesialisasi KH M Hasyim Asy’ari.
Belum dapat diketahui dengan pasti berapa puluh tahun M Khazin Manshur nyantri dan menyerap ilmu-ilmu agama di pesantren Tebu Ireng yang diasuh oleh Hadratus Syeikh. Hanya saja ketika diwawancarai pada hari Minggu 25 Nopember 2007,3 M Khazin Manshur mengatakan bahwa dirinya ketika menamatkan ilmu-ilmu penting di pesantren Tebu Ireng ditawari oleh Hadratus Syeikh untuk bersedia dikirim untuk mengajar di salah satu pesantren di pulau Madura. Syaratnya, Muhammas Khazin harus minta ijin dulu kepada orang tuanya. Tawaran Hadratus Syeikh akhirnya disampaikan M Khazin kapada ayahnya, KH M Manshur dan Hj Maimunah.
Kyai Manshur tidak berkomentar apa-apa. Hj Maimunah tidak mengijinkan. Sang Ibu tersebut lebih senang jika Khazin menyerap ilmu di pesantren Hadratus Syeikh lebih lama lagi. Alasannya sederhana saja yaitu kalau Khazin dikirim ke Madura dan di sana dipanggil bapak guru maka Sang Ibu khawatir Khazin akan lupa diri sehingga malas mengaji lagi karena sudah menjadi guru. Jawaban ibu tersebut akhirnya disampaikan oleh M Khazin kepada Hadtarus Syeikh dan Beliau pun memahami keberatan Hj Maimunah sehingga M Khazin tidak jadi didelegasikan mengajar di selah satu pesantren di Madura.
Setelah kejadian di atas, Hadratus Syeikh lantas waduh –sebagaimana diceritakan oleh KH M Khazin Manshur saat diwawancarai – “Saya (Hadratus Syeikh) dahulu pernah mondok di Wonokoyo, dan yang mengajar adalah ayahmu (KH M Manshur). Saya mengaji kitab Ibn Aqiel. Pada saat itu, jarang sekali orang yang mengaji kitab Alfiyah Ibn Aqiel tersebut. Yang mengajar adalah abahmu”.4
Hari-hari di Tebu Ireng sangat berkesan di hati M Khazin Manshur. Ia mempunyai banyak kenangan manis terutama yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan dengan keluarga Hadratus Syeikh. M Khazin Manshur mempunyai hubungan dekat dengan Gus Kholiq Hasyim, Putera Hadratus Syeikh. Keduanya adalah sahabat karib. Hampir tiap tengah malam sekikar pukul 01.00 Wib (dini hari), Gus Kholiq Hasyim datang dan mengetuk pintu kamar M Khazin Manshur, dan mengajak pergi ke warung kopi terdekat untuk sekedar ngopi dan bercengkrama. Setelah itu, mereka berdua kembali ke pondok untuk muthola’ah (mengkaji) isi kitab bersama-sama.
*Nyantri di Pesantren Rejoso*
Kedetailan kronologi waktu merupakan aspek penting dalam penulisan sejarah. Sejak tahun berapa dan hingga tahun berapa M. Khazin Manshur nyantri di Tebu Ireng belum mampu diketahui dengan pasti. Jika kedetailan kronologi waktu tersebut mampu diketahui maka dapat diketahui dengan mantap bahwa M Khazin Manshur menyerap ilmu-ilmu agama di Tebu Ireng sekian puluh tahun. Tidak diketahuinya kronologi waktu di atas juga terjadi pada saat M Khazin Manshur melanjutkan studi agama (mondoknya) ke pesantren Rejoso, Peterongan, Jombang yang diasuh oleh KH Ramli Tamim. Belum juga diketahui denga mantap sejak tahun berapa M Khazin mulai menetap di pesantren Rejoso untuk nyantri kepada KH Ramly Tamim, ulama besar NU dan mursyid utama dalam Tariqah al-Mu’tabarah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang sangat terkenal itu.
Fakta sejarah yang diterima terkait dengan nyantrinya M Khazin Manshur di Pesantren Rejoso adalah M Khazin Manshur pindah nyantri ke Rejoso masih pada zaman pemerintah kolonial Belanda atas wilayah Hindia Belanda (Indonesia). Situasi politik di Hindia-Belanda saat itu berada dalam ketegangan antara kaum pribumi dengan kolonial Belanda. Kaum pribumi sudah membuat gumuk dan benteng-benteng pertahanan dari tumpukan karung berisi pasir di tempat-tempat tertentu.
Saat berada di Rejoso, M Khazin Manshur langsung diperintah oleh KH Dahlan, salah satu ulama dan keluarga dekat KH Ramli Tamim, untuk mengajar para santri pesantren Rejoso dan membuat sistem pengajaran secara klasikal (pembelajaran yang dilaksanakan di dalam kelas). Hari-harinya di pesantren rejoso diprioritaskan oleh M Khazin untuk mengajar para santri. Bahkan, KH Dahlan akhirnya mengatakan: “ Khazin, segala hal yang berkaitan dengan pengajaran di madrasah (klasikal) di pesantren Rejoso ini aku pasrahkan kepadamu”.5 Dengan amanat baru dan berat di atas, M Khazin Manshur berarti mengemban tugas-tugas sebagai ekpala madrasah di pesantren besar sebesar pesantren Rejoso.
Amanat KH Dahlan tersebut justru menjadi mesin pendorong M Khazin Manshur untuk semakin haus belajar dan mendalami semua ilmu yang telah dipelajarinya. Tiap malamm utamanya pada waktu dini hari, ia tidak pernah berhenti memuthola’ah kitab-kitab yang telah dipelajarinya walaupun dalam kegiatan mutho’laah itu harus ia lakukan sendirian, tanpa teman diskusi atau sparing pathner. Dari proses inilah akhirnya, M Khazain Manshur mampu menulis dan menelorkan beberapa karya (kitab) dalam bahasa Arab tentang ilmu gramatikal Bahasa Arab, Ilmu Faraidh dan Ilmu Sastra Arab (Balaghah). Karya-karya tersebut adalah : 1) Dzurrarul Lawami’ (Mutiara-Mutiara Berkilauan), sebuah kitab tentang tata bahasa Arab atau ilmu Nahwu, 2) Raudhatul Faridh (Taman yang Tentram), sebuuah kitab tentang ilmu faraidh (teori tentang waris mewaris dalam kajian ilmu fikih), 3) Dzurarul Hisan (Mutiara-Mutiara Kebijakan), sebuah kitab tentang balaghah, sastra Arab, 4) Resume atau diktat kitab Alfiyah ibn ‘Aqiel dalam beberapa volume yang hingga saat ini masih menjadi bahan kajian dan kurikulum madrasah diniyah pesantren Manba’ul Hikam di kelas uliyah. Pada saat karya-karya tersebut telah ditulis, KH Dahlan sering kali melihat-lihatnya.
*Menikah, lalu Isteri Ditinggal Mondok*
Menikah dengan dijodohkan dan tanpa proses perkenalan yang panjang antara calon pengantin lelaki dan perempuan pada zaman dahulu dan lebih utama zaman colonial baik Belanda maupun Jepang adalah bukan fenomena sosial yang langkah. Raden Ajeng Kartini, bangsawan asal Jepara di era kolonial dan pelopor emansipasi wanita Indonesia, juga merasakan proses pernikahan dengan dijodohkan oleh orang tua. Roman Siti Nurbaya karangan Marah Rusli yang mengisahkan pernikahan pahit antara Siti Nurbaya dengan Datuk Maringgih, lelaki tua kaya pilihan orang tua Siti Nurbaya, adalah karya sastra yang mengabadikan fakta sosial pernikahan dengan dijodohkan. Syariat Islam tidak melarang pernikahan hasil perjodohan oleh orang tua. Bahkan Rasulullah dalam satu hadisnya mengatakan bahwa diantara kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan oleh orang tua kepada anaknya yaitu: 1) memberi nama yang baik , 2) memberiakan kebutuhan sandang, pangan, papan kepada anaknya dari rizki yang halal, 3) menikahkan anaknya jika telah sampai pada usia layak untuk membina rumah tangga. Bahkan, syariat Islam menetapkan bahwa seorang calon pengantin laki-kali jika ingin mengkhitbah (meminang) wanita untuk dijadikan calon istrinya maka lelaki itu diperbolehkan untuk melihat wajah dan telapak tangan wanita tersebut. 6
Fenomena social –budaya di atas menghiasi lembar sejarah kehidupan M Khazin Manshur ketika ia akan mengakhiri masa lajangnya untuk membuka lembaran sejarah baru sebagai pengantin. Pernikahannya dengan calon isterinya adalah pernikahan melalui perjodohan. M. Khazin Manshur sudah mengetahui calon isterinya saat ia berkunjung ke rumah H. Mustofa (ayah dari wanita yang akan dinikahinya). H. Mustofa adalah seorang pengusaha tambak yang kaya di desa Putat dan cinta sekali kepada orang yang berilmu. H Mustofa diajak oleh Saudaranya yang bernama H Makin pergi ke pesantren Rejoso. Sering pergi dan mengaji di Rejoso maka dua orang tersebut akhirnya kenal dan akrab dengan sosok santri sekaligus guru yang bernama Muhammad Khazin Manshur. Dua orang itu akhirnya mengajak M Khazin Manshur bersedia bersilaturrahim ke rumahnya di Putat Tanggulangin Sidoarjo dan disana itu menjadi sebab pernikahannya. Adapun kisahnya secara kronologis akan dipaparkan dalam alenia-alenia berikut ini.6
Muhammad Khazin Manshur menikah dengan Maghniyah saat Maghniyah berumur 16 tahun pada masa pemerintahan penjajah Jepang. Sejak kecil hingga dewasa dan menjadi ustadz senior dan ‘kepala madrsah’ di pesantren Rejoso, Muhammad Khazin Manshur menetap di Jombang. Sedangkan Maghniyah menetap di Sidoarjo dan belum pernah pergi ke wilayah Jombang. Pernikahan dua sejoli ini terjadi karena peran H. Makin (pakdenya Maghniyah), H. Farchan dan H Mustofa (ayah Maghniyah).
H. Makin dan H Farchan adalah orang Putat yang sering datang dan mengaji ke pesantren Rejoso. Seringnya sowan ke pondok Rejoso, dan Muhammad Khazin saat itu adalah santri utama dan termasuk dalam jajaran ustadz, maka dua orang Putat tersebut sering bertemu dan menjadi akrab. Bahkan H Makin minta diajari pokok-pokok ilmu-ilmu agama kepada Muhammad Khazin. Setelah merasa cocok dan puas sowan serta menuntut ilmu di Rejoso akhirnya H Farchan dan H Makin mengajak H Mustofa untuk ikut sowan dan mengaji juga ke Rejoso. Pada zaman itu, di Putat belum ada masyarakat Islam yang mampu mengaji al-Qur’an kecuali H Farchan, H Makin dan H Mustofa serta keluarga besar mereka. Mayoritas masyarakat masih buta huruf latin dan huruf al-Qur’an (Arab) sebab zamannya adalah zaman penjajahan kaum colonial. Silaturrahim antara para haji Putat dengan Muhammad Khozin di Rejoso menjadi semakin harmonis. Hati mereka pun menjadi semakin bertautan.
Suatu hari, H Makin, H Mustofa dan H Farchan mengajak Muhammad Khazin berkunjung ke rumah mereka di Putat, Tanggulangin Sidoarjo. Mereka adalah kelompok masyarakat kaya, tuan tanah dan mempunyai ladang tambak ikan yang luas. Ustadz muda dari Desa Mayangan itu menerima ajakan silaturahim itu. Setibanya di Putat, ia diajak berkeliling mengunjungi arena tambak ikan. Hati mereka semakin dekat dan terbuka. Beberapa saat setelah itu, H Mustofa mengutarakan isi hatinya yaitu meminta Muhammad Khazin untuk berkenan menjadi suami dari salah satu anak perempuannya. Yang diprioritaskan H Mustofa supaya dinikahi oleh Muhammad Khazin adalah puterinya yang biasa dipanggil Nunah, yang pada saat itu statusnya adalah janda. Namun, Muhammad Khazin tidak mau dan mengusulkan agar dipilihkan puteri H Mustofa yang lainnya yang perawan.
Acara silaturrahim dan berkunjung ke tambak serta momen mencurahkan isi hati pun selesai. Muhammad Khazin pulang kembali ke Rejoso untuk melaksanakan aktivitas pengajaran dan pendidikan kepada para santri demi khidmahnya kepada pengasuh pesantren Rejoso yaitu KH Ramly Tamim.
Beberapa hari kemudian, di Putat H Mustofa dan Hj Fatimah (isterinya) memanggil puterinya yang bernama Maghniyah. Kepadanya, H Mustofa mengatakan: “Maghniyah, kamu akan saya nikahkan dengan gurunya H Makin, pakdemu, di Rejoso”.7 Mendengar kalimat perintah dari orang tuanya, Maghniyah terasa seperti disambar petir di siang bolong. Kaget, takut dan perasaan belum siap bercampur aduk dalam hatinya. “Aku sampek sumpek dan gak arep mangan rong dino. Tapi gak iso nolak”, tuturnya. (Aku sedih sekali bahkan sampai tidak mau makan dua hari. Tetapi tidak kuasa menolaknya).
‘Roda’ bumi terus berputar. Hari-hari dating silih berganti. Bualn pun dating dan pergi. Dalam arus putaran waktu tersebut Muhammad Khazin Manshur tetap istiqomah (konsisten) mengkhidmahkan dirinya membantu mengajar para santri Rejoso, sedangkan di Desa Putat, arah tenggara kota Sidoarjo, H Mustofa konsisten dengan niat luhurnya yaitu menikahkan salah satu anak gadisnya denga Muhammad Khazin. Kemudian datanglah suatu waktu, H Mustofa, H Makin dan H Farchan datang lagi ke Rejoso untuk melaksanakan niat luhurnya yaitu menikahkan Maghniyah dengan Muhamad Khazin. Sang ustadz muda dari Mayangan itu diminta datang ke Putat pada saat prosesi akad nikah yang nanti akan mereka tentukan dan mereka atur.
Beberapa hari kemudian, Muhammad Khazin datang ke rumah H Mustofa. Namun, ia datang sendirian. Tidak ada satupun anggota keluarganya yang mendampinginya sebab dalam benaknya ada satu anggapan bahwa akad nikah yang akan dilaksanakan olehnya adalah akad nikah yang biasa-biasa saja, tanpa acara yang ramai. Setibanya di rumah H Mustofa dan bertemu dengannya, Muhammad Khazin dipersilahkan masuk ke ruang tamu dan duduk di atas kursi. Sementara di dalam rumah, Maghniyah, calon isterinya yang masih berumur 16 tahun dan masih belum tahun betul wajah calon suaminya, mencoba mengintipnya.Dari intipan pertamanya, ia pun menjadi tahu dan dalam hatinya berkecamuk perasaan sehingga keluarlah kalimat: “ lho… wong iku teko. Gak dipacak i dadine wonge ketok elek”, 8( lho…. Orangnya datang. Tidak didandani jadinya kelihatan jelek).
Proses akad nikah akhirnyya dimulai. Pegawai pencatat nikah melaksanakan tugasnya dengan baik. H Mustofa bertindak sebagai wali nikah. Penghulunya dari desa Ketapang, Tanggulangin. H Makin dan H Farchan sebagai saksinya. Syarat dan rukum nikah dikalsanakann dengan paripurna sehingga prosesi akad nikah bagi pasangan pengantin yang dijodohkan tersebut berjalan lancar. Pernikahan yang serba sederhana, namun di belakang hari-harinya nanti pernikahan itu akan memancarkan barokah yang luar biasa dan cahaya terang bagi kaum muslimin wilayah Sidoarjo dan sekitarnya kelak.
Dalam akan nikah tersebut Maghniyah dibelikan baju dan sarung. Pada zaman colonial Jepang, orang pribumi bias memakai baju yang layak saja adalah sangat beruntung sebab kondisi masyarakat pribumi jajahan Jepang sangat menderita. Untuk misa makan nasi saja sangat sulit sekali. Banyak penduduk yang makan dari nasi karak, nasi bekas yang dikeringkan,bahkan ada yang karena amat kekurangan ekonomi makan bogel pohon pisang. Pada saat itu, dalam hal berpakaian, nasib penduduk pribumi juga sangat mengenaskan. Mereka sulit sekali memperoleh pakaian dengan kain yang layak. Mayoritas mereka memakai pakaian dari kain yang kasar bahkan ada yang terbuat dari karung goni.
Pasca akan nikah, Muhammad Khozin menetap semalam di rumah mertuanya. Namun, begitu fajar subuh menyingsing dan waktu pagi tiba Muhammad Khazin Manshur pamit kepada mertua dan isterinya untuk pergi ke pesantren Rejoso untuk berkhidmah membantu KH Ramli Tamim dalam mendidik para santri. Subhanallah….. sungguh ini adalah suatu fakta yang luar biasa langkah bila diukur dengan budaya masyarakat muda yang hidup di era modern sekarang ini, utamanya tahun 2009. Ada pengantin baru, satu hati menjalani hidup bersama dengan isterinya, lalu berpisah dengan isterinya demi menjalankan amanat thalabul ilmi dan khidmah kepada kyai. Luar biasa dan fenomena budaya yang langkah sekali.
Muhammad Khazin Manshur pun pamit dan pergi lagi ke pesantrennya. Sedangkan isterinya yang masih berusia 16 tahun - yang tentunya dalam usia seperti itu pemikiran, wawasan dan kondisi psikologi tidak sematang wanita usia 25 tahun, usia umum pernikahan wanita tahun 2000-an - merasa senang dipamiti oleh suaminya. Mungkin ia masih ingin hidup lebih leluasa layaknya gadis belia dan belum ingin terbebani dan terkekang menjadi seorang isteri.
*Mengunjungi Isteri Disela-Sela Mondok*
Ketika diwawancarai tentang sejarah pernikahannya, disebutkan bahwa Khazin –sempat menjalani hidup: mondok, mengunjungi isteri di rumah, lalu mondok lagi. Muhammad Khazin biasanya tiap dua bulan sekali pulang ke Putat untuk mengunjungi isteri dan mertuanya. Dari Jombang menuju jalan raya Tanggulangin – Surabaya ditempuhnya dengan naik kendaraan umum. Dari jalan raya Tanggulangin menuju desa Putat ditempuh dengan naik dokar (delman) sebab alat transportasi yang paling umum di kota kecil atau jalan raya masa itu adalah dokar.9
Karena proses akad nikah di Putat dahulu dilaksanakan biasa saja. Oleh karena itu, beberapa bulan kemudian, Muhammad Khazin dating ke Putat lalu mengajak isteri dan keluarga besar Putat untuk berkunjung ke Jombang untuk meramaikan acara pernikahannya. Acara iring-iring dan resepsi pernikahan di Jombang digelar sehari saja. Maghniyah dan rombongan dari Putat juga berada di Jombang juga sehari saja. Setelah itu, Maghniyah dan rombongan keluarga Putat pulang ke Putat Sidoarjo. Saat acara iring-iring itu digelar KH M Manshur sudah wafat, tetapi Nyai Hj Maimunah masih ada. Saat keluarga besar Putar pulang, ternyata M Khazin tidak ikut pulang ke Putat, tetapi masih kembali ke pesantren Rejoso.
Model kehidupan berumah tangga yang unik (berpisah dan bertemu sementara) di atas berlangsung lebih dari satu tahun. Belum dapat diketahi dengan pasti pada tahun berapa model hidup berumah tangga yang unik tersebut berakhir?. Saat diwawancarai keduanya tidak dapat mengingatnya. Namun, yang dapat dipastikan adalah bahwa proses boyongnya M Khazin Manshur dari pesantren Rejoso untuk menetap di Putat bersama isteri dan mertuanya dilakukan secara berangsur-angsur. Jika biasanya dua bulan sekali rutin pulang ke Putat, maka di tahun terakhir mondoknya pulangnya ke Putat diubah menjadi satu bulan sekali, kemudian setengah bulan sekali. Setelah itu, akhirnya menetap terus dan tidak kembali lagi ke Rejoso.
*Menetap di Putat*
Pada sub-sub bahasan di atas telah dijelaskan tentang proses menetapnya KH Khazin Manshur di Putat. Namun, dalah hal ini kita masih dihadapkan pada problematika yang sama dengan sub-sub bahasan di atas yaitu problem belum didapatkannya tentang kepastian informasi waktu (tahun). Belum dapat diinvestigasi tentang pada tahun berapa M Khazin Manshur mulai betah (krasan) dan hidup menetap di Desa Putat yang pada babak sejarah selanjutnya nanti akan melahirkan lembaga pendidikan Islam bernama pondok pesantren Manba’ul Hikam.
Begitu menetap di Putat, sebagaimana umumnya pasangan pengatin baru- Khazin dan Maghniyah hidup serumah dengan mertuanya yaitu H Mustofa dan Hj Fatimah. Pada saat itu, M Khazin juga belum bekerja layaknya kaum muda professional zaman sekarang yang sudah mempunyai profesi (pekerjaan tetap) dan menghasilkan uang seperti profesi pedagang, pengusaha dan lainnya.
M Khazin datang ke Putat - sebagaimana pernah diceritakan oleh KH M Salim Imran, menantu KH M Khazin dan sekaligus Ketua Yayasan PP Mamba’ul Hikam pada acara tahlil hari ke-7 wafatnya KH M Khazin- tidak membawa harta benda yang banyak. Beliau dating dengan membawa ilmu yang luar biasa dalam dan komprehensif.10 Oleh karena itu, beberapa tahun setelah menetap di Putat, kebutuhan hidup keluarga Khazin-Maghniyah ditopang oleh mertuanya. H. Aflah Afriyadi, M.Pd.I (cucu KH M Khazin) – bersama penulis saat mewawancarai kakeknya sempat mengatakan –tentunya juga dengan tujuan mencairkan suasana agar lebih rileks atau untuk sekedar guyonan- ; “Abah…!! Nek ngonten panjenengan binggen nate madep, mantep, mangan melok morotuo atau M5 nggeh?”. (Abah… kalau begitu Panjengengan dahulu pernah mantap makan ikut mertua ya?).
KH Khazin pun mengiyahkan komentar guyonan cucunya itu. Nyai Maghniyah,yang pada saat wawancara digelar itu duduk di atas tempat tidur di sebelah kursi roda KH Khazin, turut berkomentar: “ ngono iku sampek duwe anak Neng Ulfah. Aku sampek sumpek Alawi”. (Begitu itu berlangsung sampai punya anak pertama yaitu Neng Ulfah (puteri pertama). Aku sampai suntuk Alawi (nama lain dari H Aflah)”.
Perasaan sedih dan suntuk mungkin bisa menyelinap di hati Maghniyah ketika melihat keadaan suaminya seperti itu. Tetapi, masalah tersebut bagi H Mustofa tidaklah menjadi masalah besar dan serius. Sebab, H Mustofa adalah sosok orang kaya, memiliki tambak luas. Selain itu, ia adalah sosok orang yang sangat cinta tehadap ilmu pengetahuan, ilmu agama dan orang-orang yang alim (berilmu). Khazin Manshur adalah menantu pilihannya dan ia juga yang meminta Khazin untuk menikahi salah satu puterinya.
Oleh karena itu, dalam konteks ini perlu sekali untuk dikupas tentang sosok H Mustofa dan Hj Fatimah, dua mertua M Khazin Manshur sebab dua orang tersebut mempunyai konstribusi yang sangat besar dalam menopang, dan menata sejarah hidup anak dan menantunya. H Mustofa dan Hj Fatimah ini pula yang menyediakan asset-aset mahal dan berharga yang menjadi cikal-bakal lahirnya pondok pesantren Manba’ul Hikan dengan segala unit pendidikan yang ada didalamnya.
“ Aku Seneng Manuk’e Gak Seneng Kurungane".
H. Mustofa dan Falsafah:
H Mustofa adalah petani tambak yang sukses di desa Putat dan sejak kecil ia hidup dilakangan keluarga petani tambak yang berhasil. Oleh karena itu, sejak bayi ia sudah masuk dalam kategori keluarga kaya. Perangainya sabar dan pendiam. Ia mempunyai beberapa amalan-amalan istimewa yang dikerjakannya dengan istiqomah pada saat hidupnya di dunia. Pertama, intidharus sholah ba’das sholah (menunggu datangnya waktu sholat setelah yang bersangkutan melaksanakan sholat. Amalan ini rutin ia kerjakan. Setelah melaksanakan sholat Maghrib, ia selalu membaca al-Qur’an hingga dating waktu shalat isyak. Setelah mengerjakan sholat Isyak dengan berjama’ah, lantas H Mustofa makan malam.
Amalan intidharus sholah ba’das sholah dan membaca al-Qur’an adalah amalan yang istimewa karena ia menjadi tradisi Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Butinya adalah hadits Rasulullah di bawah ini:
عن ابى هريرة رضى الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : ألا أدلكم على ما يمحو الله به الخطايا و يرفع به الدرجات؟ قالوا: بلى يا رسول الله. قال : إسباغ الوضوء على المكاره و كثرة الخطا الى المساجد و إنتظار الصلاة بعد الصلاة. فذالكم الرباط فذالكم الرباط فذالكم الرباط. [ رواه مسلم ]
Artinya:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda: “bolehkah aku menunjukkan kepada kalian tentang hal-hal yang dengannya Allah SWT akan menghapus dosa-dosa kalian dan menaikkan derajat kalian?”. Para sahabat menjawab: “tentu kami mau wahai Rasulullah”. Beliau lalu bersabda: “menyempurnakan wudhu pada kondisi yang tidak mengenakkan, dan memperbanyak langkah kali menuju masjid, dan menunggu datangnya waktu sholat setelah melaksanakan sholat. Semuanya adalah ribath (pengikat). (kata yang terakhir itu diucapkan tiga kali oleh Rasulullah”). (HR. al-Imam Muslim).
Amaliah membaca al-Qur’an disepakati oleh semua orang Islam sebagai amalan luhur dan istimewa. Tidak ada satu pun dari orang-orang Islam yang menolak fadhilah dan keistimewaan membaca al-Qur’an sebab ia adalah kalam Allah SWT, Tuhan yang menciptakan segala alam raya. Banyak sekali jumlah ayat al-Qur’an dan hadis Rasul yang menyeru dan menjelaskan fadhilah amalan membaca al-Qur’an. Tetapi dua hadis di bawah ini sudah representatif (mewakili) untuk menjelaskan keistimewaan amaliah membaca al-Qur’an.
إذا أردتَ أن تتكلم مع ربك فاقرأ القرأن
Artinya: “Bila nada ingin bercakap-cakap dengan Tuhanmu maka bacalah al-Qur’an”.
أن أفضل العبادة بعد صلاة المكتوبة قرأة القرأن
Artinya: “Sesungguhnya ibadah yang paling utama setelah sholat fardhu adalah membaca al-Qur’an”.
Amaliah kedua yang biasa dikerjakan oleh H Mustofa adalah ibadah sholat malam atau qiyamul lail. Amalan ini juga termasuk amalan yang par excellent (istimewa). Qiyamul lail adalah tradisi dan kebiasaannya orang sholeh (da’bus sholihin). Sangat banyak dalil al-Qur’an dan hadis tentang perintah dan fadhilah amalan melakukan qiyamul lail. Ayat di bawah ini sudah mencukupi untuk menjelaskan keistimewaan amaliah tersebut:
ومن الليل فتهجد به نافلة لك عسى أن يبعثك ربك مقاما محمودا
Khusus terkait dengan lelaki yang akan menjadi menantunya, H Mustofa mempunyai prinsip atau falsafah “ aku seneng manuke, gak seneng kurungane” (aku senang burungnya, tidak suka sangkarnya). Makna yang terkandung dalam semboyang filosofis tersebut adalah H Mustofa lebih senang kepada kualitas, isi, kepribadian, dan ilmu pengetahuan dari calon menantunya daripada tampang dan kekayaannya. Isi lebih penting daripada kulit. Substansi lebih utama daripada formalitas. Kealiman lebih utama daripada kekayaan dan keningratan.
Semboyang filosofis itu meluncur dari lisan H Mustofa ketika ia diajak berunding oleh isterinya (Hj Fatimah) yang berinisiatif untuk menjodohkan Maghniyah dengan anak lelaki dari salah seorang pengusaha tambak yang sangat kaya di Putat.Mendengar inisiatif isterinya itu, H Mustofa lantas berkata: “aku seneng manuke, gak seneng kurungane”.H Mustofa tidak setuju dengan inisiatif isterinya karena calon yang diajukannya bukanlah figure pemuda yang alim dan banyak ilmu. Tidak seperti burung yang aktif berkicau walaupun ia hidup disangkar yang bagus. Ketika H Mustofa kenal dan dekat dengan pemuda dan santri senior yang bernama M Khazin dan diajaknya untuk bersilaturrahim ke Putat, maka H Mustofa berkata kepada isterinya: “ikiloh manuke seng suarane khong” (ini lho…. Burungnya yang aktif berkicau).
Seperti suaminya, Hj Fatimah juga memiliki kepribadian luhir dan kebiasaan yang terpuji yaitu mengaji dan sangat perduli dan cinta kepada orang-orang yang mengaji al-Qur’an serta ia senang berpuasa senin-kamis. Ketika berada di dapur untuk memasak dan saat itu dibantu oleh Maghniyah yang mempunyai jadwal mengaji maka Hj Fatimah marah dan berkata: “ojok ewangi tandang gawe. Koen iku wedhok. Engkok kenek wedhang tambah gak payu rabi” (jangan ikut membantu memasak. Kamu itu wanita. Nanti ketumpahan air panas malah kamu tidak laku menikah).11
Hj Fatimah sangat utun mengajari mengaji al-Qur’an kepada orang-orang tua. Bahkan jika muridnya ada yang absen, tidak dating ke rumahnya untuk mengaji, maka Hj Fatimah mengutus orang untuk memanggil muridnya supaya dating. Bila terhadap orang lain saja sangat perduli, maka terhadap anak-anaknya ia menerapkan kedisiplinan. Hj Fatimah tidak segan-segan mengikat anaknya dengan kendhit (ikat pinggang dari kain atau benang dan biasa dipakai oleh wanita) bila ia marah kerena melihat anak-anaknya tidak mengaji al-Qur’an.
Perlu disertakan tentang kondisi pendidikan, social dan keagamaan warga desa Putat pada masa hidupnya H Mustofa dan Hj Fatimah. Masyarakat Putat pada saat itu pada era colonial Jepang, era proklamasi dan masa-masa awal orde baru adalah masyarakat beragama Islam. Namun, kondisi mereka masih berada dalam keawaman. Tidak ada yang mampu mengaji al-Qur’an kecuali segelintir orang saja antara lain keluarga H Mustofa. Belum ada orang yang giat mengajari penduduk tentang membaca al-Qur’an kecuali mereka berdua.
Sadar hidup ditengah-tengah masyarakat yang ‘terbelakang’ secara edukatif dan spiritual mendorong H Mustofa untuk mengirimkan anak-anaknya supaya belajar agama di pesantren. Anggota keluarganya (Mak Sah, mahniyah, Mahnunah, Naser, Dik Iri)
semuanya disuruh mondok di Nyai Umroh di Porong Sidoarjo. Nyai Umroh Porong adalah sosok ibu nyai yang istimewa di mata Maghniyah sebab ia adalah gurunya. Nyai Umroh adalah salah satu santriwati di pesantren Rejoso yang mampu menghafalkan al-Quran lengkap 30 juz dalam tempo yang sangat cepat yaitu kurang dari satu tahun.
Demikian gambaran umum tentang visi dan tujuan hidup serta kepribadian H Mustofa dan Hj Fatimah, dua orang yang member konstribusi luar biasa bagi munculnya cikal-bakal pesantren Manba’ul Hikam. Sekarang, objek pembahasan akan difokuskan kembali kepada aktivitas M Khazin Manshur yang sudah menetap di keluarga H Mustofa di desa Putat, Tanggulangin, Sidoarjo.
Mengajar: Menjalankan Amanat Mertua
Pada sub bahasan (Menetap di Putat) telah dijelaskan bahwa pada tahun-tahun pertama menetapnya di Putat, M Khazin Manshur dan isterinya hidup serumah dengan mertuanya. Otomatis, kebutuhan-kebutuhan hidupnya juga banyak ditopang oleh mertuanya. Dalam kondisi seperti itu, M Khazin mulai mendapat anamat utama dari mertuanya yaitu mengajar mengaji. Lokasinya di rumah H Mustofa. Mengajar mengaji bagi M Khazin Manshur adalah bukan pengalaman pertama sebab di pesantren aktivitas mengajar adalah aktivitas rutinnya. Oleh karena itu, masyarakat yang datang –walaupun jumlahnya sedikit saat itu- mengaji kepada M Khazin akan dia didik dengan baik. Kelebihan M Khazin dalam hal mengajar adalah ia sangat utun, tidak kenal bosan mengajar. Ada satu orang saja yang datang minta diajari mengaji maka M Khazin akan melayaninya.
Keuletan, ketelatenan dan konsistensinya itulah yang memukau mertuanya sehingga H Mustofa memberinya amanat untuk mengelola sekolah ‘ dasar’ al-Islamiyah yang ia dirikan dan biayai. Lokasi sekolah al-Islamiyah berada sebelah selatan rumah H Mustofa hanya saja antara rumah H Mustofa dan gedung sekolah tersebut dipisah oleh jalan umum. Rumah H Mustofa berada di sebelah utara, sedangkan sekolah al-Islamiyah ada di selatan. Pada saat itu, kondisi fisik bangunan sekolah al-Islamiyah masih sangat sederhana. Bangunannya terbuat dari gedhek (bambu) dan muridnya masih sedikit jumlahnya. Yang terlibat menjadi guru dalam proses belajar mengajar tersebut adalah M Khazin, Maghniyah, Machnunah, dan anaknya Kyai Farchan yang akrab dipanggil Rip. Dengan mengajar itu, masyarakat memanggil M Khazin Manshur dengan Pak Guru Khazin, dan Maghniyah akrab dipanggil Ibu Yah.
Dengan demikian, kesibukan M Khazin adalah mengajar mengaji mengaji kepada mensyarakat muslim Putat dan desa-desa sekitarnya di malam hari. Sedangkan di pagi hari digunakan di rumah untuk memimpin lembaga pendidikan dasar SD al-Islamiyah. Pengajian yang dilaksanakan di rumah M Khazin itu berjalan tanpa nama. Berjalan lama dan alami. M Khazin Manshur disamping mangajar al-Qur’an juga mengajarkan kitab-kitab kecil. Maghniyah membantu pengajian yaitu dengan menjadi guru ngaji al-Qur’an untuk santri-santri puteri. Para santri puteri itu berasal dari dusun Tawangsari, desa Ngampelsari (Candi) antara lain Khadijah dan Maimunah. Tiap hari Khadijah dan Maimunah bersama teman-temanya berjalan kaki dari Tawangsari- Putat menuju rumah H Mustofa, berjarak skitar 2,5 km. Sedangkan para santri putera saat itu lebih banyak berasal dari desa Kalidawir dan Banjarpanji kecamatan Tanggulangin. Yang paling menonjol diantara mereka adalah H Abdul Fatah dan H Mahmud, keduanya berasal dari Banjarpanji.
Pada saat itu mereka -seraya meminjam istilah Zamakhsyari Dhofier- belum menjadi santri mukim (menetap), namun masih menjadi santri kelana (santri kalong). (lihat: Zamakhsyari Dhofier. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta, LP3ES, 1984), 27). Mereka berangkat dari rumah menuju Putat. Usai mengaji mereka pulang ke rumahnya masing-masing. Mereka belum menetap di Putat dan karena saat itu bangunan khusus untuk pondok pesantren juga belum ada.
Kegiatan ngaji dilaksanakan secara gratis seratus persen. Para santri kalong tidak dipungut biaya sama sekali. Semua berjalan dengan dilandasi semangat untuk beribadah kepasa Allah SWT demi terciptanya nasyrul dinillah (tersebarnya agama Allah). Sebagai guru, M Khazin Manshur dan Maghniyah juga tidak memungut imbalan duniawi apa pun. Kegiatan mendidik terhadap masyarakat di atas tidak hanya berjalan sebulan atau dua bulan, melainkan berjalan bertahun-tahun. Tidak akan kuat melaksanakan tugas religious-edukatif yang utama ini kecuali orang-orang yang berjiwa ikhlas, sabar, istiqomah dan memiliki gelora dakwah yang membara.
والله اعلم بالصواب
subhanalloh
BalasHapus